MusicologyHistory.blogspot.com

Music expresses that which cannot be said and on which it is impossible to be silent- Victor Hugo

MusicologyHistory.blogspot.com

When words leave off, music begins. Heinrich Heine

MusicologyHistory.blogspot.com

When words leave off, music begins. Heinrich Heine

MusicologyHistory.blogspot.com

When words leave off, music begins. Heinrich Heine

This is default featured slide 5 title

When words leave off, music begins. Heinrich Heine

Pages

Friday, December 6, 2013

Launching Musicology & Music History Logo's

LOGO MUSICOLOGYUntuk membuat tampilan blog semakin menarik dan punya identitas sendiri, akhirnya blog musicologyhistory.wordpress.com punya logo sendiri kawan-kawan. Semoga dengan ini admin juga semakin rajin nulis untuk post-post tentang musikologi dan sejarah musik. Thank you :)



~theresiadeasy

Alban Berg (1885-1935) dan Wozzeck (1925)

[caption id="" align="alignleft" width="540"] Wozzeck[/caption]

Alban Berg merupakan salah satu murid yang paling terkemuka dari Arnold Schoenberg. Pada komposisi-komposisi awalnya, terutama Kwartet Gesek, op. 3 (1911), pengaruh Schoenberg masih terlihat sangat jelas. Tetapi dalam waktu tujuh tahun, ia menjadi komponis yang matang. Ia kemudian menjadi sangat terkeanal dengan dua operanya Wozzeck (1925) dan Lulu (1937). (Opera Lulu merupakan sebuah karya postmus [opus posthumus])



SINOPSIS

Wozzeck adalah seorang prajurti yang ditekan oleh orang-orang yang berada di sekitarnya. Atasannya, Sang Kapten, mencela dia karena memiliki anak di luar nikah. Sang Dokter menuduhnya sebagai orang yang tidak waras karena ia tidak mau dijadikan sebagai eksperimen diet oleh Sang Dokter. Kekasihnya, Marie, berselingkuh dengan "the drum major". Selain itu, Wozzeck juga mengalami halusinasi dan ia sering mendengarkan suara-suara di kepalanya.

Perselingkuhan Marie akhirnya diketahui oleh Wozzeck dari percakapan Sang Kapten dan Sang Dokter. Selain itu, "the drum major" pun membangga-banggakan perselingkuhan ini di depan Wozzeck. Itulah sebabnya Wozzeck menjadi cemburu ketima Marie dan "the drum major" berdansa di tempat minum. Maka Wozzeck pun menantang duel "the drum major", dengan hasil kekalahan oleh pihak Wozzeck.

Ketika ada kesempatan, Wozzeck mengajak Marie berjalan-jalan di hutan. Di sana ia kemudian menggorok leher Marie, yang menyebabkan kematiannya. Tewasnya Marie diketahui oleh orang-orang yang melihat Wozzeck masuk ke dalam rumah minum dengan tangan berlumuran darah.



LATAR BELAKANG WOZZECK

Jelas sekali bahwa sebelum pertunjukan perdana Wozzeck karya Berg, dunia sastra/teater di luar Jerman tidak mengenal nama George Büchner (1813-1836).Büchner memiliki banyak bakat, ia menulis dalam bidang sejarah, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Sayang sekali karena umurnya sangat singkat ia meninggal pada usia 23 tahun karena penyakit tifus, maka keterkenalannya baru di dapat setelah ia meninggal dunia.

Setelah ia meninggal, manuskrip-manuskrip, fragmen-fragmen, dan sejumlah draf dari karyanya, Woyzeck ditemukan. Karya itu, Woyzeck, disebut kemudian menjadi "Wozzeck" dikarenakan salah pembacaan oleh editor karyanya yang paling pertama, Karl Emil von Franzos. Woyzeck atau Wozzeck itu menunjukakan bagaimana pandangan Büchner mengenai manusia yang berjuang tak habis-habisnya di dunia yang jahat. Büchner memiliki pandangan pesimistis atas kegagalan masa Pencerahan, Revolusi Perancis dan "The Reign of Terror".

Banyak orang Jerman memiliki rasa kasih terhadap orang papa. Salah satunya Büchner ini. Woyzeck memotret hidup yang menyedihkan dari seorang tentara hina. Sang tokoh yang memang sungguh ada realitasnya, Johann Christian Woyzeck adalah seorang tentara yang alkoholik dan bertindk hanya berdasarkan insting. Ia membunuh perempuan simpanannya dalam kasus "crime of passion". Woyzeck diadili dan dihukum mati pada tahun 1824.

Di dalam Woyzeck, Büchner mengekspresikan rasa simpatinya atas penderitaan manusia. Sang tokoh Woyzeck-nya Büchner bukanlah orang yang hidup di dalam dunia sentimental atau ideal, melainkan dunia yang jahat, yang bersifat menindas, irasional dan dihidupi oleh manusia-manusia yang merupakan predator bagi sesamanya. Büchner berhasil masuk ke dalam kejiwaan Woyzeck, ia berhasil memotret orang sial yang direndahkan oleh orang-orang disekelilingnya. Woyzeck mengalami halusinasi yang tidak dapat dimengerti, ia gagal dalam menghadapi atasannya yang tanpa kompromi, tanpa alasan yang jelas ia takut pada freemason. Warna-warna yang riang menakutkannya dan ia percaya bahwa ia mendengar suara-suara akibat halusinasinya. Woyzeck adalah manusia yang mengalami delusi dan ilusi, yang jelas menunjukkan bahwa ia adalah orang yang mengalami gangguan jiwa.

Dialog yang diciptakan oleh Büchner di dalam Woyzeck dasarnya adalah dibangun dari pola-pola wicara sehari-hari, bahasa dari orang-orang yang tidak berpendidikan atau dari kalangan kelas bawah. Di dalam karyanya itu Büchner tidak menciptakan retorika, dan tokoh-tokohnya tidak berhenti melakukan refleksi atau introspeksi.Protes dan kemarahan diekspresikan dari kalimat-kalimat yang dikutib dari Kitab Suci.



PENCIPTAAN WOZZECK

Pengalamannya sebagai prajurti Jerman pada Perang Dunia 1 lah yang menjadi pemicu Alban Berg untuk mengadaptasi drama Büchner. Di dalam perang ia melihat bagaimana kondisi manusia yang tidak manusiawi, serta kegilaan mereka dalam usaha untuk menyelamatkan diri. Di sanalah ia menemukan bagaimana yang disebut dengan bersifat manusiawi hanyalah omong kosong belaka, atau bahkan mungkin sama dengan kegilaan yang sesungguhnya.

Di dalam Woyzeck tidak ada yang normal, semua dekaden dan menyedihkan. Semua tokohnya sudah masuk dalam taraf sakit jiwa. Ekspresi musico-dramatic Berg atas situasi manusia yang di bawah kenormalan itu hanya cocok diungkapkan dalam idiom Ekspresionisme, bukan dalam harmoni yang tradisional, melainkan atonalisme, disonan dan diskor. Dengan demikian bisa diartikan di sini bahwa musik ekpreionis itu memiliki kemampuan untuk menyampaikan kegilaan-kegilaan dari tokoh dalam Wozzeck.

Itulah sebabnya, musik Wozzeck sama sekali atonal. Tetapi pada momen-momen akhir, musiknya tidak diduga malah berubah menjadi tonal. Dalam pandangan Berg, musik tonal itu melambangkan bagaimana Wozzeck dan Marie akhirnya menemukan kedamaian, dan dalam kedamaian itu yang diartikan di dalam kematian. Hal ini terlihat secara aura-visual: musiknya yang bertempo larghetto dimainkan oleh orkestra setelah layar turun, dan musik invention-nya yang bertangga nada D minor menghadirkan sifat liris.

Pada dasarnya, Berg mengadaptasi drama Büchner secara ketat- ia hanya sedikit mengubah hal-hal tertentu. Ia membagi setiap babak ke dala substruktur yang berbupa bentuk musik abad - 18 seperti toccata, fuga, suita, atau passacaglia. Opera Berg ini terdiri dari tiga babak dengan lima adegan-adegan pendeknya. Interlude orkestra di antara adegan, saat layar turun, menjadi narator bagi drama. Adegan-adegan pendek karya Büchner bisa menimbulkan kesulitan di panggung drama, tetapi di dalam musik, transisi musik di dapam opera menambahkan kekuatan emotid ke dalam ide atau pikiran yang tak terkatakan.

Bentuk musik dalam setiap adegannya memiliki karakter ekspresif yang dapat diindetifikasikan dengan keadaan psikologis yang tertentu : bentuk fuga dan passacaglia cenderung menyampaikan sesuatu yang sifatnya intelektual dan terpelajar, scherzo : tarian ; gerakan lambat dari sonata : emosi yang dalam dan mencekam. Musik Wozzeck sama sekali menyerap teks; musik itu menjadi pusat perhatian. Sebab orkestra merefleksikan setiap detail drama.

Schonberg menyarankan penggunaan “Sprechgesang” (speech-song) untuk dialognya. Tetapi banyak dialog di dalam Wozzeck yang menggunakan “Sprechgesang” (song speech). Sprechgesang adalah sebuah teknik menghasilkan nyanyian yang berkedudukan antara gaya menyanyi dan gaya berbicara, dengan keterikatan yang kuat pada ritme musik dan infleksi dalam bahasa, bukan keterikatan pada pitch.

Wednesday, December 4, 2013

Friday, December 13th, 2013

[caption id="" align="alignleft" width="482"] Celebration Dreams 30[/caption]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

"A Celebration of Dreams"

In Jubilee of YMJ's 30th Anniversary

Friday, 13 December 2013, 7pm
Goethehaus - Jl. Samratulangi No. 9-15 Menteng, Jakarta Pusat 

Featuring:
Dr. Kuei Pin Yeo, piano
Jap Tji Kien, violin
With
The National Symphony Orchestra of Indonesia (OSNI)
Gabriel Laufer, conductor

Program:
Rachmaninoff Piano Concerto No. 2
Beethoven Violin Concerto

Tickets:

Gold Rp. 500.000
Silver Rp. 250.000
YMJ Student Rp. 100.000

Reservations:
Procedureticketing@yayasanmusikjakarta.org

Contact:
(021) 5389148/50

Monday, December 2, 2013

Mitos Orfeus

[caption id="" align="alignleft" width="399"] Orpheus Euridice[/caption]

Mitos Yunani Kuno Orfeus adalah sebuah drama mengenai seorang musikus dan kekuatan lagunya. Dalam versi dramawan Ovid, tokoh utamanya adalah Orfeus, seorang pemain lira yang kemampuan bermain liranya dapat menyihir alam.

Dikisahkan bahwa Orfeus dan Euridice akan melangsungkan pernikahannya. Tetapi belum sempat mereka melangsungkan sebuah perkawinan itu, Euridice mati dikarenakan gigitan ular berbisa. Dalam keadaan Orfeus memasuki “dunia bawah” untuk mencari roh Euridice. Lagu-lagu yang dimainkan oleh Orfeus berhasil memukau para dewa yang berada di sana. Dikarenakan terpukau oleh Orfeus, para dewa memberikan kesempatan untuk membawa kembali roh Euridice dari “dunia bawah” kembali ke “dunia atas”. Dewa mengajukan syarat kepada Orfeus, dalam melakukan perjalanan kembali dari “dunia bawah” kembali ke “dunia atas”, Orfeus tidak diizinkan untuk menolehkan kepalanya ke belakang dan memandang Euridice hingga nanti sampai di “dunia atas”.

Karena takut Euridice tersesat dan kehilangan untuk kedua kalinya, Orfeus memberanikan diri menoleh ke belakang. Karena melanggar apa yang menjadi syarat dewa, maka Euridice hilang ke dalam kegelapan. Usahanya menyelamatkan Euridice dihalangi oleh kekuatan-kekuatan hitam. Kehilangan Euridice untuk yang kedua kalinya membuat Orfeus menjadi sangat sedih, dan melakukan sumpah atas cintanya kepada Euridice. Hal ini membuat Bacchus marah, yang berakhibat pada kematian Orfeus.

Setelah kematian Orfeus, alam bersedih hati. Dedaunan rontok dari pohonnya dan sungai yang dipenuhi oleh air mata. Tetapi lira Orfeus tetap bernyanyi saat lita itu hanyut di sungai menuju laut. Foebus (Apolo), ayah Orfeus, menempatkan lira yang bernyanyi itu menjadi bintang sebagai penghormatan atas anaknya.

Angiolo Poliziano, seorang dramawan Renaisans pada akhir abad ke-15 membuat versi baru atas kisah Ovid tersebut. Drama yang barunya itu ia sebut  “Favolo d’Orfeo” (Fabel tentang Orfeus). Drama itu barangkali merupakan drama pertama yang ditulis dalam bahasa Italia.

Mitos Orfeus mewakili gambaran tingginya nilai cinta dalam kehidupan manusia. Di tangan Poliziano, ia menjadi kisah klasik tentang bagaimana musik menjadi suatu hakekat yang harus direalisir, bukan sekedar incidental music; dengan demikian, di dalam drama tersebut musik menjadi suatu kekuatan tersendiri yang berhadapan dengan kekuatan-kekuatan hebat lainnya.

Peri mengadaptasi kisah Poliziano; operanya disebut Euridice (1600). Dalam kisah Peri, Euridice berhasil kembali ke “dunia atas”. Teks Peri di-set ke musik monofonis yang sederhana, “recitar cantando”- declamatory style of speech-song

KOMPONIS BESAR OPERA PERTAMA : MONTEVERDI

Claudio Monteverdi (1567-1643) menggubah opera dengan mengikuti arahan garis besar dari Camerata. Ia dikenal sebagai seorang ahli musik polifoni. Ia didorong untuk bereksperimen dengan mengolah musik monofonis; di sini ia berkeputusan menggubah musik berdasarkan mitos Orfeus itu.

Karyanya, L’Orfeo, Favola in Musica, dipertunjukkan pertama kalinya di kota Mantua pada tahun 1607. Menurut cerita Monteverdi, Orfeus adalah seorang manusia yang mampu melawan kehendak dewa-dewa melalu musik. Selain itu, Orfeus juga merupakan seorang kekasih yang memiliki cinta yang begitu dalam sehingga berani menghadapi kematian demi mendapatkan cintanya kembali.

Orfeo karya Monteverdi ini menjadi contoh bentuk musik Renaisans yang telah punah di mana komponis berusaha mengadaptasi dan mengembangkan madrigal dan pastoral. Walaupun Orfeo masih merupakan opera yang bersifat embrionik, tetapi Monteverdi berhasil menangkap esensi drama musik dan menerjemahkan emosi tokoh di dalam musik. Monteverdi menjadi pionir pula di dalam instrumentasi dramatis. Ia memperluas kemampuan orkestra.