MusicologyHistory.blogspot.com

Music expresses that which cannot be said and on which it is impossible to be silent- Victor Hugo

MusicologyHistory.blogspot.com

When words leave off, music begins. Heinrich Heine

MusicologyHistory.blogspot.com

When words leave off, music begins. Heinrich Heine

MusicologyHistory.blogspot.com

When words leave off, music begins. Heinrich Heine

This is default featured slide 5 title

When words leave off, music begins. Heinrich Heine

Pages

Saturday, March 15, 2014

Sejarah Umum Musik di Zaman Barok (1600-1750) Part 1

Barok dimulai pada tahun 1600-1750. Tahun 1750 diambil dari tahun kematian di mana seorang komposer yang sangat berpengaruh pada zaman itu yaitu Johann Sebastian Bach. Tahun 1750 diambil dengan alasan, musik dengan gaya barok sudah mulai banyak berubah semenjak kematian sang komposer yang terkenal tersebut. Barok diambil dari kata Baroque/Barucco (Perancis) yang diartikan sebagai miring, lonjong dan menyimpang.

Kata barok menunjuk kepada sesuatu hal yang berhubungan dengan negatif, berlebihan, sebagai contoh dalam seni di ornamen pada gereja katolik Vatican. Gereja Vatican termasuk dalam gaya barok yang menampilkan ornamen yang berlebihan dan tidak memiliki fungsi. Berbeda dengan bentuk gereja di zaman Renaisans, gaya ornamen yang dimiliki pada zaman Renaisans menunjuk "kalem" dan tidak berlebihan.

Perang 30 tahun, perang yang berisi tentang perselisihan antara agama protestan dan katolik. Perang yang dianggap brutal tersebut ternyata memberikan dampak juga terhadap musik di zaman itu. Protestan dan Katolik yang sudah lelah melakukan peperangan dengan cara brutal mulai masuk peperangan dalam bidang seni. Musik yang dibawa oleh agama protestan adalah musik yang melanjutkan dari gaya yang ada pada zaman Renaisans, berbeda dengan yang dilakukan oleh agama katolik. Di saat itu Katolik membentuk musik dengan gaya yang baru dengan melakukan banyak perubahan, mereka membuat musik lebih ekspresif. Hal tersebut menjadikan musik yang dibawa oleh agama Katolik menjadi lebih dominan dibanding dengan yang dibawakan oleh agama protestan.

Simfoni pada masa Barok dan Pra Klasik


SIMFONI PADA MASA BAROK DAN PRA KLASIK

Istilah musik simfoni berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang diambil dari “syn” dan “phōnē” yang memiliki arti “berbunyi bersama”. Sebelum abad ke-18, berbagai macam penggunaan istilah “simfoni” dapat diterapkan ke karya-karya musik yang memiliki musik vokal di dalamnya. Pada tahun 1597, Giovanni Gabrielli menerbitkan karya yang berisi koleksi motet yang berjudul Sacrae symphoniae. Kemudian pada tahun 1615, ia menerbitkan lagi koleksi motetnya yang berjudul Symphoniae Sacrae. Penjudulan yang dilakukan Gabrielli bermaksud untuk menekankan arti dari simfoni (berbunyi bersama). Karya yang dibuat oleh Gabrielli menggunakan gagasan “lawan-lawanan” di dalam Gereja St. Mark di kota Venezia.

Pada abad ke-17, penggunaan istilah simfoni berhubungan dengan musik vokal ditiadakan dan istilah simfoni lebih mengacu kepada jenis musik instrumental saja. Dan pada zaman Klasik terjadilah standarisasi, Sonata untuk orkestra disebut dengan Simfoni. Maka istilah simfoni digunakan untuk musik-musik instrumental yang merupakan introduksi ke opera dan kantata atau refren instrumental awal atau di tengah musik vokal aria. Pada abad ke -18, simfoni menjadi istilah yang umum dipakai untuk menunjukan pada apa yang kita sebut sekarang sebagai overture (pada opera).

Inilah saat di mana musik instrumental menjadi berkedudukan penting. Pada masa sebelumnya, musik vokal yang dipandang lebih superior, bahkan semakin dekat gaya permainan musik instrumental ke gaya musik vokal, semakin baiklah musik itu.

ANTARA ABAD KE-17 DAN ABAD KE-18

Bangkitnya musik simfoni sebagai bentuk musik yang independen adalah kisah mengenai komponis berusaha menciptakan segala sesuatu yang sifatnya baru. Tidak ada satu sumber yang baku, tetapi semua berhubungan dengan opera Italia : ketika ada opera, pastilah ada orkestra, dan ketika ada sebuah orkestra ada kebutuhan untuk concert music.

Konser-konser musik pada abad ke-17 dan ke-18 tidak seperti konser pada masa kini. Konser pada masa merupakan bagian dari hiburan semata atau social gathering saja. Pada abad ke-180 sebelum abad ke-18 musik simfoni sering digunakan sebagai pengiring ketika sekelompok orang sedang bermain kartu. Cara memulai konser yang baik pada masa itu adalah memainkan karya overture dari opera yang dikenal/terkenal pada masa itu.

Semua pusat musik yang mengembangkan beberapa teknik musik pada jaman Barok yang kemudian menjadi gaya musik Klasik, memiliki kekhususan-kekhususan. Beberapa gagasan yang berkembang dan bercampur ke mana-mana setelah para komponis pindah kota atau daerah. Tetapi pada masa kini, musik simfoni adalah musik yang “demanding” (tidak sulit didengar/dimainkan) dan merupakan karya yang pendek.

Salah seorang komponis yang lebih menonjok dalam karya simfoni yang seperti itu adalah Giovanni Battista Sammartini (1700/01-1775). Sebagai contoh musiknya yaitu Simfoni D Mayor. Gerakan 1 (Alla breve) : 2’ 10”, gerakan 2 (Andante sempre piano): 2’ 52” dan gerakan 3 (Finale : Presto) : 1’ 18”.

Pada masa Barok awal, pusat musik orkestra yang sangat terkenal adalah di istana The Elector of The Palatinate Carl Theodor yang berkuasa di Mannheim pada tahun 1742 – 1778. Mannheim terkenal sebagai kota orkestra. Direktur musiknya yang terkenal adalah Johann Stamitz (Jan Stamic) 1717-1757. Karya Stamitz mewakili gaya Mannheim awal yang terkenal dengan “Mannheim crescendo” (crescendo yang dimainkan oleh seluruh orkestra). Pada masa itu tidak ada orkestra yang bisa memainkan crescendo (dinamik). Selain itu, dalam musik ini sudah terdapat perubahan dinamik dan instrumentasi yang tiba-tiba, menyebabkan timbulnya kesan sense of real depth dan sense of real feeling. Gaya musik seperti ii begitu dikagumi dan banyak ditiru dimana-mana. Maka bukan sesuatu yang asing pada tahun 1760’an, gaya ini banyak ditemu di orkestra-orkestra di Paris, London, Wina dan kota-kota besar lainnya.

Friday, December 6, 2013

Launching Musicology & Music History Logo's

LOGO MUSICOLOGYUntuk membuat tampilan blog semakin menarik dan punya identitas sendiri, akhirnya blog musicologyhistory.wordpress.com punya logo sendiri kawan-kawan. Semoga dengan ini admin juga semakin rajin nulis untuk post-post tentang musikologi dan sejarah musik. Thank you :)



~theresiadeasy

Alban Berg (1885-1935) dan Wozzeck (1925)

[caption id="" align="alignleft" width="540"] Wozzeck[/caption]

Alban Berg merupakan salah satu murid yang paling terkemuka dari Arnold Schoenberg. Pada komposisi-komposisi awalnya, terutama Kwartet Gesek, op. 3 (1911), pengaruh Schoenberg masih terlihat sangat jelas. Tetapi dalam waktu tujuh tahun, ia menjadi komponis yang matang. Ia kemudian menjadi sangat terkeanal dengan dua operanya Wozzeck (1925) dan Lulu (1937). (Opera Lulu merupakan sebuah karya postmus [opus posthumus])



SINOPSIS

Wozzeck adalah seorang prajurti yang ditekan oleh orang-orang yang berada di sekitarnya. Atasannya, Sang Kapten, mencela dia karena memiliki anak di luar nikah. Sang Dokter menuduhnya sebagai orang yang tidak waras karena ia tidak mau dijadikan sebagai eksperimen diet oleh Sang Dokter. Kekasihnya, Marie, berselingkuh dengan "the drum major". Selain itu, Wozzeck juga mengalami halusinasi dan ia sering mendengarkan suara-suara di kepalanya.

Perselingkuhan Marie akhirnya diketahui oleh Wozzeck dari percakapan Sang Kapten dan Sang Dokter. Selain itu, "the drum major" pun membangga-banggakan perselingkuhan ini di depan Wozzeck. Itulah sebabnya Wozzeck menjadi cemburu ketima Marie dan "the drum major" berdansa di tempat minum. Maka Wozzeck pun menantang duel "the drum major", dengan hasil kekalahan oleh pihak Wozzeck.

Ketika ada kesempatan, Wozzeck mengajak Marie berjalan-jalan di hutan. Di sana ia kemudian menggorok leher Marie, yang menyebabkan kematiannya. Tewasnya Marie diketahui oleh orang-orang yang melihat Wozzeck masuk ke dalam rumah minum dengan tangan berlumuran darah.



LATAR BELAKANG WOZZECK

Jelas sekali bahwa sebelum pertunjukan perdana Wozzeck karya Berg, dunia sastra/teater di luar Jerman tidak mengenal nama George Büchner (1813-1836).Büchner memiliki banyak bakat, ia menulis dalam bidang sejarah, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Sayang sekali karena umurnya sangat singkat ia meninggal pada usia 23 tahun karena penyakit tifus, maka keterkenalannya baru di dapat setelah ia meninggal dunia.

Setelah ia meninggal, manuskrip-manuskrip, fragmen-fragmen, dan sejumlah draf dari karyanya, Woyzeck ditemukan. Karya itu, Woyzeck, disebut kemudian menjadi "Wozzeck" dikarenakan salah pembacaan oleh editor karyanya yang paling pertama, Karl Emil von Franzos. Woyzeck atau Wozzeck itu menunjukakan bagaimana pandangan Büchner mengenai manusia yang berjuang tak habis-habisnya di dunia yang jahat. Büchner memiliki pandangan pesimistis atas kegagalan masa Pencerahan, Revolusi Perancis dan "The Reign of Terror".

Banyak orang Jerman memiliki rasa kasih terhadap orang papa. Salah satunya Büchner ini. Woyzeck memotret hidup yang menyedihkan dari seorang tentara hina. Sang tokoh yang memang sungguh ada realitasnya, Johann Christian Woyzeck adalah seorang tentara yang alkoholik dan bertindk hanya berdasarkan insting. Ia membunuh perempuan simpanannya dalam kasus "crime of passion". Woyzeck diadili dan dihukum mati pada tahun 1824.

Di dalam Woyzeck, Büchner mengekspresikan rasa simpatinya atas penderitaan manusia. Sang tokoh Woyzeck-nya Büchner bukanlah orang yang hidup di dalam dunia sentimental atau ideal, melainkan dunia yang jahat, yang bersifat menindas, irasional dan dihidupi oleh manusia-manusia yang merupakan predator bagi sesamanya. Büchner berhasil masuk ke dalam kejiwaan Woyzeck, ia berhasil memotret orang sial yang direndahkan oleh orang-orang disekelilingnya. Woyzeck mengalami halusinasi yang tidak dapat dimengerti, ia gagal dalam menghadapi atasannya yang tanpa kompromi, tanpa alasan yang jelas ia takut pada freemason. Warna-warna yang riang menakutkannya dan ia percaya bahwa ia mendengar suara-suara akibat halusinasinya. Woyzeck adalah manusia yang mengalami delusi dan ilusi, yang jelas menunjukkan bahwa ia adalah orang yang mengalami gangguan jiwa.

Dialog yang diciptakan oleh Büchner di dalam Woyzeck dasarnya adalah dibangun dari pola-pola wicara sehari-hari, bahasa dari orang-orang yang tidak berpendidikan atau dari kalangan kelas bawah. Di dalam karyanya itu Büchner tidak menciptakan retorika, dan tokoh-tokohnya tidak berhenti melakukan refleksi atau introspeksi.Protes dan kemarahan diekspresikan dari kalimat-kalimat yang dikutib dari Kitab Suci.



PENCIPTAAN WOZZECK

Pengalamannya sebagai prajurti Jerman pada Perang Dunia 1 lah yang menjadi pemicu Alban Berg untuk mengadaptasi drama Büchner. Di dalam perang ia melihat bagaimana kondisi manusia yang tidak manusiawi, serta kegilaan mereka dalam usaha untuk menyelamatkan diri. Di sanalah ia menemukan bagaimana yang disebut dengan bersifat manusiawi hanyalah omong kosong belaka, atau bahkan mungkin sama dengan kegilaan yang sesungguhnya.

Di dalam Woyzeck tidak ada yang normal, semua dekaden dan menyedihkan. Semua tokohnya sudah masuk dalam taraf sakit jiwa. Ekspresi musico-dramatic Berg atas situasi manusia yang di bawah kenormalan itu hanya cocok diungkapkan dalam idiom Ekspresionisme, bukan dalam harmoni yang tradisional, melainkan atonalisme, disonan dan diskor. Dengan demikian bisa diartikan di sini bahwa musik ekpreionis itu memiliki kemampuan untuk menyampaikan kegilaan-kegilaan dari tokoh dalam Wozzeck.

Itulah sebabnya, musik Wozzeck sama sekali atonal. Tetapi pada momen-momen akhir, musiknya tidak diduga malah berubah menjadi tonal. Dalam pandangan Berg, musik tonal itu melambangkan bagaimana Wozzeck dan Marie akhirnya menemukan kedamaian, dan dalam kedamaian itu yang diartikan di dalam kematian. Hal ini terlihat secara aura-visual: musiknya yang bertempo larghetto dimainkan oleh orkestra setelah layar turun, dan musik invention-nya yang bertangga nada D minor menghadirkan sifat liris.

Pada dasarnya, Berg mengadaptasi drama Büchner secara ketat- ia hanya sedikit mengubah hal-hal tertentu. Ia membagi setiap babak ke dala substruktur yang berbupa bentuk musik abad - 18 seperti toccata, fuga, suita, atau passacaglia. Opera Berg ini terdiri dari tiga babak dengan lima adegan-adegan pendeknya. Interlude orkestra di antara adegan, saat layar turun, menjadi narator bagi drama. Adegan-adegan pendek karya Büchner bisa menimbulkan kesulitan di panggung drama, tetapi di dalam musik, transisi musik di dapam opera menambahkan kekuatan emotid ke dalam ide atau pikiran yang tak terkatakan.

Bentuk musik dalam setiap adegannya memiliki karakter ekspresif yang dapat diindetifikasikan dengan keadaan psikologis yang tertentu : bentuk fuga dan passacaglia cenderung menyampaikan sesuatu yang sifatnya intelektual dan terpelajar, scherzo : tarian ; gerakan lambat dari sonata : emosi yang dalam dan mencekam. Musik Wozzeck sama sekali menyerap teks; musik itu menjadi pusat perhatian. Sebab orkestra merefleksikan setiap detail drama.

Schonberg menyarankan penggunaan “Sprechgesang” (speech-song) untuk dialognya. Tetapi banyak dialog di dalam Wozzeck yang menggunakan “Sprechgesang” (song speech). Sprechgesang adalah sebuah teknik menghasilkan nyanyian yang berkedudukan antara gaya menyanyi dan gaya berbicara, dengan keterikatan yang kuat pada ritme musik dan infleksi dalam bahasa, bukan keterikatan pada pitch.

Wednesday, December 4, 2013

Friday, December 13th, 2013

[caption id="" align="alignleft" width="482"] Celebration Dreams 30[/caption]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

"A Celebration of Dreams"

In Jubilee of YMJ's 30th Anniversary

Friday, 13 December 2013, 7pm
Goethehaus - Jl. Samratulangi No. 9-15 Menteng, Jakarta Pusat 

Featuring:
Dr. Kuei Pin Yeo, piano
Jap Tji Kien, violin
With
The National Symphony Orchestra of Indonesia (OSNI)
Gabriel Laufer, conductor

Program:
Rachmaninoff Piano Concerto No. 2
Beethoven Violin Concerto

Tickets:

Gold Rp. 500.000
Silver Rp. 250.000
YMJ Student Rp. 100.000

Reservations:
Procedureticketing@yayasanmusikjakarta.org

Contact:
(021) 5389148/50

Monday, December 2, 2013

Mitos Orfeus

[caption id="" align="alignleft" width="399"] Orpheus Euridice[/caption]

Mitos Yunani Kuno Orfeus adalah sebuah drama mengenai seorang musikus dan kekuatan lagunya. Dalam versi dramawan Ovid, tokoh utamanya adalah Orfeus, seorang pemain lira yang kemampuan bermain liranya dapat menyihir alam.

Dikisahkan bahwa Orfeus dan Euridice akan melangsungkan pernikahannya. Tetapi belum sempat mereka melangsungkan sebuah perkawinan itu, Euridice mati dikarenakan gigitan ular berbisa. Dalam keadaan Orfeus memasuki “dunia bawah” untuk mencari roh Euridice. Lagu-lagu yang dimainkan oleh Orfeus berhasil memukau para dewa yang berada di sana. Dikarenakan terpukau oleh Orfeus, para dewa memberikan kesempatan untuk membawa kembali roh Euridice dari “dunia bawah” kembali ke “dunia atas”. Dewa mengajukan syarat kepada Orfeus, dalam melakukan perjalanan kembali dari “dunia bawah” kembali ke “dunia atas”, Orfeus tidak diizinkan untuk menolehkan kepalanya ke belakang dan memandang Euridice hingga nanti sampai di “dunia atas”.

Karena takut Euridice tersesat dan kehilangan untuk kedua kalinya, Orfeus memberanikan diri menoleh ke belakang. Karena melanggar apa yang menjadi syarat dewa, maka Euridice hilang ke dalam kegelapan. Usahanya menyelamatkan Euridice dihalangi oleh kekuatan-kekuatan hitam. Kehilangan Euridice untuk yang kedua kalinya membuat Orfeus menjadi sangat sedih, dan melakukan sumpah atas cintanya kepada Euridice. Hal ini membuat Bacchus marah, yang berakhibat pada kematian Orfeus.

Setelah kematian Orfeus, alam bersedih hati. Dedaunan rontok dari pohonnya dan sungai yang dipenuhi oleh air mata. Tetapi lira Orfeus tetap bernyanyi saat lita itu hanyut di sungai menuju laut. Foebus (Apolo), ayah Orfeus, menempatkan lira yang bernyanyi itu menjadi bintang sebagai penghormatan atas anaknya.

Angiolo Poliziano, seorang dramawan Renaisans pada akhir abad ke-15 membuat versi baru atas kisah Ovid tersebut. Drama yang barunya itu ia sebut  “Favolo d’Orfeo” (Fabel tentang Orfeus). Drama itu barangkali merupakan drama pertama yang ditulis dalam bahasa Italia.

Mitos Orfeus mewakili gambaran tingginya nilai cinta dalam kehidupan manusia. Di tangan Poliziano, ia menjadi kisah klasik tentang bagaimana musik menjadi suatu hakekat yang harus direalisir, bukan sekedar incidental music; dengan demikian, di dalam drama tersebut musik menjadi suatu kekuatan tersendiri yang berhadapan dengan kekuatan-kekuatan hebat lainnya.

Peri mengadaptasi kisah Poliziano; operanya disebut Euridice (1600). Dalam kisah Peri, Euridice berhasil kembali ke “dunia atas”. Teks Peri di-set ke musik monofonis yang sederhana, “recitar cantando”- declamatory style of speech-song

KOMPONIS BESAR OPERA PERTAMA : MONTEVERDI

Claudio Monteverdi (1567-1643) menggubah opera dengan mengikuti arahan garis besar dari Camerata. Ia dikenal sebagai seorang ahli musik polifoni. Ia didorong untuk bereksperimen dengan mengolah musik monofonis; di sini ia berkeputusan menggubah musik berdasarkan mitos Orfeus itu.

Karyanya, L’Orfeo, Favola in Musica, dipertunjukkan pertama kalinya di kota Mantua pada tahun 1607. Menurut cerita Monteverdi, Orfeus adalah seorang manusia yang mampu melawan kehendak dewa-dewa melalu musik. Selain itu, Orfeus juga merupakan seorang kekasih yang memiliki cinta yang begitu dalam sehingga berani menghadapi kematian demi mendapatkan cintanya kembali.

Orfeo karya Monteverdi ini menjadi contoh bentuk musik Renaisans yang telah punah di mana komponis berusaha mengadaptasi dan mengembangkan madrigal dan pastoral. Walaupun Orfeo masih merupakan opera yang bersifat embrionik, tetapi Monteverdi berhasil menangkap esensi drama musik dan menerjemahkan emosi tokoh di dalam musik. Monteverdi menjadi pionir pula di dalam instrumentasi dramatis. Ia memperluas kemampuan orkestra.

Wednesday, November 27, 2013

Different Wood Different Sounds (Latar Belakang Penulisan)

Different Wood Different Sounds

Violin atau yang kita lebih kenal dengan sebutan Biola dalam bahasa Indonesia adalah salah satu dari alat musik khas dari Eropa. Biola termasuk dalam alat musik berdawai yang teridiri dari 4 senar dan dimainkan dengan cara digesek menggunakan busur.

Alat musik ini sudah tidak asing lagi di Indonesia. Beberapa jenis musik di Indonesia sudah menggunakan alat musik ini untuk komposisi lagu-lagu tersebut bahkan pada musik-musik daerah di Indonesia. Karena perkembangan alat musik ini di Indonesia, maka Indonesia mulai membuat alat musik tersebut.

Tetapi sangat disayangkan, karena sebagian besar pembuatan alat musik tersebut mereka tidak melewati pendidikan yang dikhususkan untuk membuat alat musik. Karena tidak ada tempat belajar yang memberikan pengajaran khusus untuk pembuatan instrument. Dengan kreatif mereka membuat alat musik tersebut menggunakan pengetahuan yang sekedarnya dan dalam proses otodidak.

Dengan alasan ekonomis para pembuat biola di Indonesia mengesampingkan jenis kayu yang seharusnya digunakan untuk membuat biola yang membuat suara yang dikeluarkan oleh biola menjadi sangat tipis.  Karena jenis kayu yang digunakan dalam pembuatan biola sangat berpengaruh penting dengan suara yang dihasilkan. Bahkan tidak hanya jenis kayu, umur pada jenis kayu pun sangat mempengaruhi kualitas dari suara tersebut.

Sering kita temui biola-biola dijual di toko buku. Biola tersebut juga memiliki kesamaan dengan biola buatan Indonesia yang mengesampingkan suara yang dihasilkan ditambah lagi tidak seharusnya biola dibuat dengan cara pabrikan (masal).

Dan dalam penulisan saya kali ini, saya akan membahas pentingnya pemilihan kayu dalam pembuatan alat musik tersebut. Sesuai dengan judul yang saya berikan “Different Wood Different Sounds” yang memberikan gambaran secara jelas dalam jenis kayu yang sangat memberikan efek berbeda dalam suara yang dihasilkan oleh biola tersebut. Dan jenis kayu yang tepat dalam pembuatan biola.